Hari-hari ini kita melihat berbagai keadaan yang saling berlawanan. Pada satu sisi, kita merayakan banyak kemajuan ekonomi, sosial dan budaya khususnya di berbagai belahan dunia yang melakukan pembangunan selama bertahun-tahun, di sisi lain kemiskinan bisa dikurangi secara signifikan. Di sisi lain, kita juga diperhadapkan dengan banyak gugatan atas berbagai kegagalan pembangunan yang bertahun-tahun telah menjadi sebuah ideologi, seperti laporan tentang kemiskinan, gizi buruk, ketimpangan, kerusakan lingkungan dan sebagainya yang terus menghiasi surat kabar maupun jurnal.
Kondisi yang paradoksal ini menjadi semacam langkah awal bagi kita untuk mempertanyakan lagi tentang “pembangunan”. Mengikuti anjuran Bung Karno agar jangan sekali-kali meninggalkan sejarah, mari kita tenggok kembali sejarah konsep yang dianggap membawa kemajuan tapi juga dianggap belum bisa menyelesaikan persoalan ini. Pembangunan mulai dikenal secara luas ketika negara-negara dunia ketiga memperoleh kemerdekaannya sekitar tahun 1950-1970.
Ketika itu, kemiskinan dan kesenjangan menjadi tantangan baru yang krusial dan harus segera ditangani. Istilah “pembangunan” selanjutnya muncul sebagai cara untuk mengatasi permasalahan tersebut. Dengan pembangunan, negara-negara yang baru merdeka diharapkan dapat mengatasi kemiskinan dan kesenjangan serta mengejar ketertinggalan mereka dengan negara yang sudah maju terlebih dahulu.
Pada awalnya, pembangunan sering dikaitkan dengan istilah modernisasi dan industrialisasi. Tujuan dalam pembangunan ketika itu adalah meningkatakan perekonomian dan mengejar ketertinggalan dari negara-negara lain. Pembangunan hanya melihat pertumbuhan ekonomi sebagai alat untuk mengukur kesuksesan pembangunan. Sebuah negara akan dinilai berhasil melaksanakan pembangunan apabila pertumbuhan ekonomi masyarakat mengalami peningkatan yang cukup tinggi (Kharisma, 2017).
Konsepsi pembangunan yang berfokus pada pertumbuhan ekonomi tersebut dirancang oleh sebuah agenda kesepakatan global yang disebut sebagai Konsensus Washington. Secara lebih rinci, di dalam Konsensus Washington terdapat serangkaian paket kebijakan ekonomi yang dianggap sebagai standar reformasi bagi negara berkembang untuk melepaskan diri dari krisis ekonomi yang memicu terjadinya krisis global. Dipicu oleh kegagalan pemerintah dalam mengelola kegiatan ekonomi, konsensus ini berupaya melakukan stabilisasi melalui kebijakan dalam penyesuaian struktural yang direkomendasikan oleh organisasi-organisasi Bretton Woods seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia.
Selanjutnya, model pembangunan yang mengarah pada peningkatan pertumbuhan ekonomi mulai tidak diterima oleh beberapa negara. Para pemimpin negara menganggap bahwa pertumbuhan ekonomi tidak mampu dijadikan sebagai alat ukur kesuksesan sebuah pembangunan. Tolak ukur tersebut dianggap belum mampu menciptakan kesejahteraan bagi negara yang menjalankannya dan hanya menimbulkan berbagai permasalahan pembangunan, seperti krisis ekonomi, krisis kesehatan, krisis pangan yang semakin parah dan kerusakan lingkungan yang terjadi dimana- mana (Kharisma, 2017)
Pada tahapan sejarah selanjutnya muncul wacana pembangunan global baru yaitu Millennium Development Goals(MDGs) dengan delapan indikator (Ngoyo, 2015):
- Memberantas kemiskinan dan kelaparan ekstrem
- Mewujudkan pendidikan dasar untuk semua
- Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan
- Menurunkan angka kematian anak
- Meningkatkan kesehatan ibu
- Memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit lainnya
- Memastikan kelestarian lingkungan
- Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan
MDGs ternyata tak lepas dari kritik. Konsep pembangunan ini dianggap termasuk ke dalam skenario global yang dimainkan oleh konspirasi negara-negara maju terhadap negara-negara miskin dan berkembang. Dengan adanya MDGs ini, situasi kelesuan pasar global dapat diperbaiki untuk kepentingan memasok barang dan jasa hasil industri mereka ke negara-negara berkembang yang secara pararel menghisap kekayaan sumber daya alam, mineral, energi dan bunga hutang. Hegemoni kepentingan global ini telah menawan kedaulatan bangsa dan kemandirian warga negara, sehingga masa depan dan kesejahteraan masyarakat menjadi tergadai dan ditentukan oleh pihak lain (Huruta, 2014).
Pelaksanaan kebijakan-kebijakan yang berlandaskan pada MDGs juga mendapat sorotan dan kritikan. Pertama, tujuan dan target MDGs disusun melalui proses yang sangat birokratis dan teknokatis. Kedua, desain dari tujuan dan target tersebut juga dikritik oleh beragam perspektif. Sebagai misal, tidak ada perhatian yang cukup terhadap persoalan ketimpangan dan kesetaraan gender dalam tujuan-tujuan MDGs. Ketiga, tujuan, target, dan indikator yang ada memang berhasil merefeleksikan fokus area dan data, namun dalam beberapa kasus data tersebut ternyata tidak lengkap atau bahkan tidak ada. Keempat, kurangnya akuntabilitas dan universalitas terutama untuk negara-negara donor dalam memenuhi tujuan ke-8 dari MDGs (INFID, 2015).
Pada tahun 2015 setelah berakhirnya MDGs muncul konsep pembangunan global baru yaitu Sustainable Development Goals (SDGs) yang memuat 17 tujuan:
- Tanpa kemiskinan
- Tanpa kelaparan
- Kehidupan sehat dan sejahtera
- Pendidikan berkualitas
- Kesetaraan gender
- Air bersih dan sanitasi layak
- Energi bersih dan terjangkau
- Pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi
- Industri, inovasi dan infrastruktur
- Berkurangnya kesenjangan
- Kota dan komunitas berkelanjutan
- Konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab
- Penanganan perubahan iklim
- Ekosistem laut
- Ekosistem daratan
- Perdamaian, keadilan dan kelembagaan yang tangguh
- Kemitraan untuk mencapai tujuan
Konsep pembangunan ini pertama kali diumumkan secara luas pertemuan yang dilaksanakan pada tanggal 25-27 September 2015 di markas besar PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa), New York, Amerika Serikat. Acara tersebut merupakan kegiatan seremoni pengesahan dokumen SDGs yang dihadiri perwakilan dari 193 negara. Dokumen tersebut mulai dirancang ketika Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) menyelenggarakan konferensi bertajuk pembangunan berkelanjutan (sustainable development), di Rio de janeiro, Brazil, Juni 2012, atau yang lebih sering disebut dengan konferensi Rio+20. Pertemuan tersebut menghasilkan dokumen the future we want yang sangat berperan penting dalam kemunculan Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB). Poin paling penting dari dokumen tersebut adalah diperlukannya agenda pembangunan berkelanjutan baru yang melanjutkan MDGs, namun dengan visi yang lebih luas, holistik dan bersifat universal.
Perbedaan prinsip penyusunan antara SDGs dan MDGs memberikan harapan bahwa dunia akan bertransformasi menjadi tempat yang lebih baik untuk ditinggali. Secara prinsip, MDGs fokus terhadap permasalahan pembangunan di negara-negara berkembang dan tertinggal, dimana negara-negara maju lebih banyak berperan sebagai pendonor (ODI, 2015; Sachs, 2015). Di sisi lain, prinsip utama SDGs adalah berlaku universal, dengan sasaran-sasaran pembangunan yang berlaku untuk semua negara tertinggal, berkembang dan maju, beserta setiap warga negaranya.
Tahun ini SDGs berusia empat tahun, masih ada sebelas tahun lagi untuk melihat apakah konsep “pembangunan” masih mampu “membangun” dunia?