Perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat beberapa dekade terakhir mengakibatkan informasi memiliki posisi strategis dalam kehidupan masyarakat. Dewasa ini banyak sekali profesi atau pekerjaan membutuhkan informasi guna mendukung sukses atau tidaknya pekerjaan yang dilakukan. Petani membutuhkan informasi tentang musim untuk menentukan masa tanam, pengusaha biro perjalan membutuhkan informasi tentang jadwal keberangkatan pesawat dan kerata api sehingga bisa menginformasikannya kepada calon pengguna jasa atau dosen dan peneliti yang memerlukan informasi untuk menciptakan pengetahuan baru.
Namun, bersamaan dengan terjadinya ledakan informasi serta mobilitas masyarakat, muncul berbagai masalah terkait dengan proses pengadaan informasi. Mobilitas dan aktivitas masyarakat menyebabkan masyarakat tidak memiliki waktu yang memadai untuk menelusur informasi dalam rangka memenuhi kebutuhan informasinya. Padahal jumlah informasi semakin banyak sehingga membutuhkan waktu yang tidak sedikit untuk menelusur informasi yang dibutuhkan. Dengan demikian masyarakat tidak memiliki kemampuan dan ketersediaan akses informasi.
Berbagai lembaga mencoba merespon fenomena ini. Mereka mengemas informasi kemudian menyediakan informasi tersebut agar dapat diakses secara cepat oleh masyarakat. Selanjutnya informasi yang telah dikemas ditawarkan kepada masyarakat yang membutuhkan untuk membeli informasi yang telah dikemas. Karena masyarakat membutuhkan informasi untuk menopang aktivitas mereka maka masyarakat tentu dengan senang hati akan membeli informasi tersebut.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa informasi memiliki nilai ekonomi. Informasi memiliki nilai ekonomi karena untuk memperoleh informasi diperlukan pengorbanan sumber daya ekonomi. Masyarkat harus menyiapkan sumber daya ekonomi, dalam hal ini sejumlah uang untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan. Selain itu nilai ekonomi informasi muncul karena adanya biaya yang diperlukan untuk menciptakan sebuah informasi.
Nilai ekonomi dari informasi tersebut di era Neoliberalisme sekarang ini bertrasnformasi menjadi satu bentuk kapitalisme baru. Meminjam pemikiran Pierre Bourdieu mengenai modal (capital), hanya individu yang memiliki modal saja yang akan memenangkan arena pertarungan. Jika pada era industri yang diperdagangkan oleh kaum kapitalis adalah produk (barang atau jasa), kini di era informasi muncul bentuk kapitalisme baru (neo-kapitalisme) yang memperdagangkan ide dalam bentuk fisiknya berupa informasi.
Kapitalisme informasi secara sederhana dapat dipahami sebagai usaha untuk menghimpun informasi kemudian mendistribusikan informasi tersebut, di mana untuk menghimpun informasi tersebut digunakan modal pribadi atau perusahaan swasta dan terjadi persaingan bebas di antara penyedia informasi tersebut. Karena untuk menghimpun informasi tersebut diperlukan modal maka bagi mereka yang ingin mengakses ekonomi harus mengeluarkan biaya. Kapitalisme informasi ini akan berdampak kepada kesempatan akses informasi, di mana tidak semua orang dapat mengakses informasi. Hanya mereka yang memiliki kemampuan ekonomi yang mampu mengakses informasi (Hakim, tanpa tahun).
Kapitalisme informasi tersebut dapat terlihat dengan merebaknya penerbit (publisher) yang berorientasi pada keuntungan perusahaan (profit oriented) di seluruh dunia (utamanya didominasi oleh perusahaan-perusahaan dari Eropa dan Amerika Serikat). Para penerbit tersebut menerbitkan publikasi berupa buku, jurnal, dan sumber daya informasi lainnya untuk diperjualbelikan kepada masyarakat akademis yang merupakan target pasar utama mereka. Mereka para penerbit menggunakan hak cipta (copy right) sebagai segel pelindung dan pengaman terhadap produk dan kegiatan bisnis mereka.
Munculnya fenomena kesenjangan ekonomi dan pembatasan akses terhadap informasi dengan hak cipta (copy right) menyebabkan banyak individu maupun kelompok melakukan perlawanan terhadap bentuk kapitalisme ilmu pengetahuan tersebut. Fenomena Open Access (akses terbuka) sebenarnya telah ada sejak berkembangnya penggunaan internet di dunia, namun istilah Open Access ini secara formal telah dipublikasikan dan dipopulerkan pada tahun 2002 dalam acara Budapest Open Access Initiative. Open Access secara resmi didefinisinkan sebagai literatur atau sumber referensi digital, daring (online), bebas biaya, dan bebas dari pembatasan hak cipta dan lisensi (Hua et al. 2016; Laakso and Bjork 2016).
Gerakan Open Access merupakan tandingan dari kapitalisme informasi yang ada sekarang ini. Gerakan ini menawarkan alternatif dalam mengakses informasi. Gerakan ini menjadi penyeimbang sekaligus menjadi kontrol atas harga pangkalan data online. Kemunculan gerakan ini akan memaksa pengelola pangakalan data online untuk lebih bijak dalam menentukan harga jual pangkalan data yang dikelolanya. Pengelola pangkalan data online tidak akan menjual produknya dengan harga yang terlalu tinggi karena dapat menyebabkan perpustakaan berpindah mengakses informasi melalui portal web berbasis Open Access.
Fenomena Open Access juga mulai merambah perguruan tinggi-perguruan tinggi di Indonesia. Bahkan banyak dari perpustakaan tersebut melanggan lebih dari satu pangkalan data online. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan Universitas Indonesia, Perpustakaan Universitas Gadjah Mada, Perpustakaan Universitas Negeri Yogyakarta serta Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga merupakan contoh dari beberapa perpustakaan yang melanggan lebih dari satu pangkalan data online.
Di luar inisiasi dari universitas-universitas, Sci-Hub adalah salah satu gerakan Open Access terbesar di dunia. Sejak 2011, Alexandra Elbakyan, peneliti sekaligus pengambang komputer kelahiran Kazakhstan, meluncurkan situs web bernama Sci-Hub. Melalui Sci-Hub, pengakses melakukan salin-tempel (copy-paste) URL dari situs penyedia jurnal atau dengan memasukkan Digital Object Identifier System (DOI) atau PMID unique identifier number, karya ilmiah yang dipagari paywall dapat diakses gratis. Berdasarkan penelusuran media daring Tirto hingga 2016, ada 48 juta karya ilmiah dari berbagai jurnal berbayar, bisa diakses bebas melalui Sci-Hub.
Munculnya berbagai gerakan Open Access sekarang ini hasurnya bisa menjadi titik awal kesadaran kita bahwa meskipun bisnis akademik tidak membakar buku seperti yang dilakukan oleh Gereja Katolik pada Abad Pertengahan dan ISIS di masa sekarang, tetapi kapitalisme informasi dan model komersialisasi pengetahuan yang mereka praktikkan adalah penutupan akses nalar public yang sama berbahayanya.
*sumber gambar: physicsworld.com/