Term social entrepreneur (atau lebih sering disebut sebagai sociopreneur) memang menjadi istilah yang cukup banyak diperdengarkan belakangan ini. Social entrepreneur atau kewirausahaan sosial sendiri didefinisikan sebagai aktivitas inovatif yang menciptakan nilai sosial di dalam atau melalui sektor pemerintah, bisnis, maupun nirlaba (Austin, Stevenson, dkk; 2006). Sedangkan menurut Dees (1998a) kewirausahaan sosial dilihat berdasarkan fokus utamanya pada misi sosial hingga orientasi utamanya pada sisi komersial dan tujuan sosial (Hempri Suyatna, 2017).
Di samping penggunaan istilah social entrepreneur, terdapat pula definisi yang sama familiarnya untuk menggambarkan kegiatan bisnis sosial, yakni social innovation. Menurut Swyngedouw (2005), social innovation muncul sebagai “the third way” atau jalan tengah untuk menyelesaikan masalah yang ditimbulkan pasar dan kegagalan negara (state failures). Upaya penyelesaian dilakukan dengan melakukan integrasi kelompok atau komunitas dan melakukan dinamika agar mencapai standar kesejahteraan. Berbagai masalah yang diakibatkan ketidakpuasan masyarakat terhadap kondisi sosial ekonomi yang dapat dikatakan cukup dilematik. Oleh karena itu muncul berbagai pandangan untuk melakukan sebuah inovasi dan struktur baru yang disebut social innovation dengan memanfaatkan berbagai sumber daya, seperti kreativitas, finansial, organisasi, teknologi, politik, dan budaya (Ayu, 2018).
Frost & Sullivan (2016) mendefinisikan social innovation sebagai sebuah penggabungan antara teknologi dengan model bisnis yang membawa dampak positif bagi kehidupan seseorang dan kelompok masyarakat, serta menghasilkan nilai-nilai tertentu atau creating shared value (CSV). Terdapat stakeholder yang terlibat dalam penciptaan nilai tersebut, seperti perusahaan, social enterprises, pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), lembaga pendidikan, dan juga organisasi publik lainnya. Theoritical, Empirical, and Policy Foundations for Social Innovation in Europe (TEPSIE) (The Economist, 2014), mendefinisikan social innovation sebagai sebuah proyek atau aktivitas yang baru untuk menghubungkan kebutuhan sosial dengan memobilisasi penerima manfaat dan mentransformasi relasi sosial untuk meningkatkan akses dari penerima manfaat terhadap kekuasaan dan juga sumber daya. Social innovation cukup luas cakupannya. Mulai dari car-sharing hingga lembaga keuangan mikro yang sama-sama bertujuan memotong batas-batas diantara sektor publik dan privat (ibid., Ayu, 2018).
Dalam buku berjudul “Peluang Social Innovation dalam Revolusi Industri 4.0: Bagaimana perkembangannya di Indonesia?” yang ditulis oleh Nitia Agustina Kala Ayu (2018), disebutkan bahwa saat ini social innovation di Indonesia sudah mulai berkembang. Hal ini didukung dengan banyaknya sosialisasi, dukungan dari lembaga Pendidikan, dan juga kompetisi yang mendorong pemuda untuk membuat berbagai ide dan mengimplementasikannya. Pernyataan ini tentu linear melihat Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Ristekdikti) meluncurkan buku “Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia” yang secara tegas menyatakan, pendidikan di Indonesia harus mulai diarahkan sesuai dengan perkembangan zaman —dalam hal ini Revolusi Industri 4.0 (Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, 2017).
Komitmen Kemenristekdikti untuk melakukan penetrasi atas diskursus Revolusi Industri 4.0 ke dunia pendidikan, ditempuh dengan menerbitkan guideline model pembelajaran. Yang menjadi sorotan dalam guideline ini ialah bahwa pasar kerja membutuhkan kombinasi berbagai skills yang berbeda dengan yang selama ini diberikan oleh sistem pendidikan tinggi (Marmolejo, World Bank, 2017). Relevansi pendidikan dan pekerjaan, perlu disesuaikan dengan perkembangan era dan IPTEK dengan tetap memberikan perhatian kepada aspek humanities. Sayangnya, pernyataan ini sempat menimbulkan paradoks disebabkan oleh pernyataan Direktur Pembinaan Kelembagaan Perguruan Tinggi, Kemenristek Dikti, Totok Prasetyo, yang mengatakan, perguruan tinggi atau kampus diarahkan untuk membentuk sarjana yang sesuai dengan kebutuhan industri. Ia juga menyebutkan bahwa di era ini, kita tidak perlu mencetak terlalu banyak sarjana sosial humaniora (Tohir, 2019). Benarkah sarjana sosio humaniora tidak relevan dengan narasi revolusi industri?
Linmasa sempat ramai ketika pernyataan itu keluar, utamanya bagi akademisi sosial sebab beberapa argumen yang hadir menunjukkan bagaimana sarjana sosio humaniora dianggap kurang memiliki sumbang sih terhadap kebutuhan industri. Padahal, tiga tahun sebelum ‘basa-basi’ ini bergema, World Economic Forum sudah sempat menyinggung bagaimana integrasi teknologi dan sosial seharusnya dibentuk. Alih-alih mengungkap bahwa revolusi industri 4.0 adalah agenda orang-orang di rumpun sains dan teknologi (saintek), WEF memberikan 10 bahan bacaan (klik di sini) yang mampu menyegarkan harapan kita: sarjana maupun calon sarjana sosio humaniora, bahwa revolusi industri tidaklah membunuh ilmuwan sosial. Sebaliknya, peran orang-orang dari rumpun ini dibutuhkan untuk menyeimbangkan tatanan masyarakat yang sedang menghadapi revolusi.
Inovasi maupun kewirausahaan sosial adalah bukti bahwa orang-orang sosio humaniora tidak hanya lulusan yang ‘haha-hihi’ tanpa memberikan kontribusi atas dinamika masyarakat yang terjadi. Baik pengetahuan, jasa, maupun bisnis-bisnis sosial adalah produk yang seharusnya dijaga agar terus hidup. Bukankah harus ada yang membedakan kita dengan mesin yang dirakit? Robot mungkin dapat mencetak barang dengan kecepatan tinggi, orang-orang dengan kemampuan mengoperasikan mesin dapat mengisi kebutuhan sektor industri. Tetapi jangan lupa bahwa orang-orang sosial dapat memberikan pertimbangan saat seluruh kemajuan mulai menimbulkan disintegrasi.
*sumber gambar: ied.eu