You are currently viewing Perempuan Di Hadapan Revolusi Industri 4.0

Perempuan Di Hadapan Revolusi Industri 4.0

Dunia startup sebagai penanda yang paling jamak kita temui dalam topik revolusi industri keempat seringkali disebut sebagai arena bias gender. Dari sekian banyak startup yang muncul, berapa banyak founder perempuan yang anda kenal? Atau, siapa perempaun yang paling anda tahu kiprahnya di ranah teknologi? Beberapa akan menjawab ‘sangat sedikit’, atau bahkan: belum pernah mendengar. Data dari Techinasia.com pada tahun 2016 menyebutkan bahwa jumlah pekerja laki-laki dan perempuan di Indonesia (kaitannya dengan teknologi) memiliki rasio yang cukup jauh, tujuh banding tiga dengan laki-laki lebih banyak. Selain data di atas, Shinta Widjaja Kamdani, President of Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE) juga menyebutkan bahwa revolusi industri keempat membuat industri science, technology, engineering, danmathematics (STEM) memiliki lingkungan yang kurang ramah terhadap perempuan (Bisnis.com, 2018). Di tengah gempuran kemajuan teknologi dan ruang yang dapat dibilang terbatas, bagaimana perempuan-perempuan mengupayakan agar tetap survive? Dan yang paling penting, siapa di antaranya yang selain menghasilkan peluang usaha, juga memberikan dampak sosial?

Di tataran global, beberapa perempuan berhasil menjadi sociopreneur sukses. Sebagai contoh, Lauren Bush, Founder of FEED. Sejak 2004, Lauren memutuskan untuk mendirikan perusahaan yang bergerak di bidang fashion, kemudian mendedikasikan sebagian hasilnya untuk anak malnutrisi di seluruh dunia. FEED sendiri merupakan bisnis penghasil tas yang ramah lingkungan, dan cocok untuk laki-laki maupun perempuan. Selain Lauren, ada pula Dali dan Fin Schonfelder. Keduanya masih berusia 13 tahun 11 tahun ketika memulai bisnis Nalu Clothing. Melalui usahanya tersebut, mereka berhasil membantu anak-anak di India dan Sumba untuk mendapatkan seragam sekolah gratis. Selanjutnya, ada Kathy Wong, CEO Flips Flop perusahaan sandal dimana setiap keuntungan yang diperoleh dari penjualan sepasang sandal akan membantu anak-anak di negara-negara berkembang mendapatkan alas kaki. Di samping itu, Kathy Wong juga mendirikan Moeloco Youth, sebuah gerakan yang menampung anak muda dengan misi sosial atau tertarik untuk menjadi sociopreneur (idntimes.com, 2018).

Bagaimana dengan Indonesia? Contoh paling dekat tentang srikandi di dunia sociopreneur sempat dihadirkan Creative Hub Fisipol UGM ketika menggelar Talk Show bersama Bukalapak. Dalam agenda tersebut, hadir seorang perempuan pendiri Aliet Green, Orly sapaan akrabnya. Sejak berdiri pada 2009, Orly telah memproyeksikan Aliet Green sebagai bisnis sosial berbasis perempuan, untuk perdagangan yang lebih adil. Apa yang dilakukan oleh Aliet Green? Mayoritas pekerja di Aliet Green adalah perempuan, khususnya mereka yang mendapat stigma sosial; seperti single parent, perempuan yang married by accident, dan masih berusaha untuk mengakomodir para transpuan. Bisnis yang dilakukan Aliet Green cukup menakjubkan, mereka mengekspor buah kelapa segar ke beberapa negara di Eropa. Yang lebih menakjubkan dari inovasi bisnis menjual kelapa segar ke luar negeri, adalah bagaimana Aliet Green mematok harga untuk setiap kelapa. Satu buah kelapa dihargai kurang lebih Rp 21.000,00. Harga yang tidak mungkin dipasang untuk segmentasi pasar dalam negeri.

Tidak berhenti pada nilai bisnis yang fantastis, perawatan tiap buah kelapa dilakukan dengan prima. Pengambilan kelapa dari pohon menggunakan teknik khusus, sehingga buah tidak dibiarkan jatuh ke tanah. Selain itu, tiap buah kelapa diberikan barcode berupa profil keluarga penanam pohon beserta nomor telepon yang bisa dihubungi. Sehingga ketika pembeli telah menerima buah kelapa tersebut, mereka dapat melakukan scanning barcode, kemudian mereka mengirimkan pesan berisi ucapan terimakasih. Orly akan menerjemahkan untuk pekerjanya tentang pesan yang masuk dari para pembeli. Dengan teknik tersebut, perempuan-perempuan pekerja akan mendapatkan insentif tersendiri berupa perasaan dihargai. Bukankah dengan ini, kita bisa melihat bahwa globalisasi bukan semata-mata ancaman bagi bisnis lokal? Sebab setiap fase globalisasi, teknologi telah memainkan peran yang menentukan dalam membentuk peluang dan risiko (Davis dan O’Halloran, 2018 dalam Indonesia Development Forum, 2018).

Meskipun belum semua perempuan fasih merespons kemajuan teknologi digital untuk melakukan kegiatan ekonomi, tidak menutup kemungkinan bahwa satu perempuan melek teknologi dapat memberdayakan ribuan perempuan lain yang masih bekerja secara konvensional. Seperti Orly dan Aliet Green-nya. Kita dapat memilih dan mengupayakan agar perubahan zaman tidak menggerus peran perempuan di sektor-sektor ekonomi strategis.

*sumber gambar: pond5.com

Leave a Reply