You are currently viewing Serba-serbi Marketplace Di Indonesia: Raksasa Adu Cakar, Yang Kecil Gulung Tikar?

Serba-serbi Marketplace Di Indonesia: Raksasa Adu Cakar, Yang Kecil Gulung Tikar?

Digitalisasi dan kehidupan serba internet di Indonesia berhasil melahirkan banyak usaha di ruang maya; bahkan empat di antaranya masuk dalam jajaran startup dengan label unicorn —memiliki nilai valuasi (nilai dari suatu startup, bukan sekedar pendanaan yang diraih dari investor) lebih dari 1 miliar dolar AS (Tirto.id, 2019). Mereka adalah Tokopedia, Bukalapak, Traveloka dan Go-jek. Dari keempat startup digital tersebut, dua di antaranya merupakan digital marketplace yang bergelut dalam urusan e-commerce dengan tipe customer to customer (C2C). Selain Bukalapak dan Tokopedia, terdapat beberapa marketplace yang populer di Indonesia seperti Lazada, Shopee, Blibli, dan lain sebagainya. Melansir data dari situs iPrice, meski tidak masuk pada jajaran startup unicorn, Lazada sempat menjadi marketplace paling populer pada pertengahan 2018 (Liputan6.com, 2018) sedangkan pada awal 2019, Shopee menggantikan posisinya dengan cashback sebagai strategi andalan (detikinet, 2019).

Kepala Badan Ekonomi Kreatif mengklaim, marketplace berperan positif dalam upaya percepatan ekonomi nasional. Pernyataan ini salah satunya didasari pada realitas masyarakat yang mulai gemar melakukan transaksi secara online (detikFinance, 2018). Bersamaan dengan kondisi ini, perdebatan terkait “barang impor versus produk lokal” dalam marketplace masih bergulir. Ketika marketplace dipandang sebagai langkah tepat memberdayakan UMKM di satu sisi, marketplace juga dianggap sebagai pembunuh produk lokal di sisi yang lain. Shopee, misalnya, mendaku sebagai marketplace yang memberdayakan UKM dengan presentase lebih dari 80%, sedangkan data Kementerian Perindustrian menyebut 90% produk yang diperjual belikan dalam digital marketplace merupakan barang impor.

Kemeterian perdagangan melihat banjirnya produk impor (dalam marketplace) dapat menghambat laju pertumbuhan UMKM dalam persaingan dagang yang sudah serba online. Padahal UMKM dinilai menjadi sektor yang sangat berpengaruh terhadap pemasukan ekonomi nasional. Untuk itu, regulasi tentang peningkatan produk lokal mencoba diterapkan. Namun, beberapa marketplace yang ada di Indonesia rupanya belum sejalan dalam menyikapi isu barang dari luar negeri; ada yang merespon dengan argumen ‘mencoba meningkatkan produk lokal dalam pasaran’, ada pula yang melihat banjirnya produk impor sebagai keniscayaan dari proses globalisasi. Kedua argumen ini sebenarnya tidak saling bertentangan, hanya saja memperlihatkan bagaimana marketplace menyikapi isu UMKM di tengah sistem e-commerce yang menjamur.

Kita tentu ingat beberapa waktu lalu, startup Qlapa yang bergerak sebagai marketplace penampung produk lokal terpaksa mendeklarasikan epilog; Qlapa resmi tutup dengan sulitnya sirkulasi pendanaan sebagai alasan terkuat (Republika.co.id, 2019). Pada saat yang sama, marketplace raksasa (Tokopedia, Shopee Bukalapak, Lazada dan lain-lain) sampai dijuluki sebagai ‘pembakar uang’ karena marak melakukan kontrak iklan di televisi maupun media sosial dengan budget yang tidak sedikit. Bahkan menurut iPrice Regional Partnership Manager, Jeyden Purna, persaingan marketplace (raksasa) di Indonesia dikatakan sebagai yang paling ketat di Asia Tenggara (Tempo.co, 2018). Pekerjaan ini memang sulit, memperkecil gap antara marketplace yang sudah mendapatkan suntikan dana besar dan mereka yang baru hadir dengan segala ketidakpastian sumber pembiayaan. Karena pada praktiknya, marketplace raksasa dengan leluasa adu cakar dan marketplace kecil satu persatu gulung tikar. Yang jelas, Qlapa bukan yang pertama dan satu-satunya; pada 2015 misalnya, sekitar tujuh marketplace juga berhenti beroperasi karena profit yang semakin tidak menjanjikan (Freischlad, 2019).

Jika marketplace yang berfokus pada pemberdayaan UMKM (dan produk-produk lokal) gulung tikar, marketplace besar dibanjiri produk luar, dan Pemerintah tidak  cukup mampu merumuskan alternatif regulasi, mungkin kita harus mendiskusikan kembali peran masing-masing aktor. Sepertinya, kita juga perlu mempertimbangkan tawaran dari WEF untuk menyelesaikan persoalan perdagangan di era digital dengan melibatkan mekanisme global di ranah domestik (World Economic Forum, 2018). Karena jika dipikirkan kembali, bukankah, segala ketidakpastian perdagangan kita saat ini, juga didorong oleh sistem perdagangan global?

Semoga saja, upaya Kominfo menggandeng marketplace untuk memberdayakan UMKM dapat berjalan optimal. Sebab ketika UMKM telah masuk dalam skema marketplace, yang dipersoalkan bukan lagi tentang ‘melek digital’, namun persaingan dengan produk-produk asing yang sejauh ini sangat membanjir. Semoga saja, marketplace benar-benar mampu membuka keran bagi aktualisasi UMKM di era digital.

Leave a Reply