Setiap Social Movement Organization (SMO) harus mampu mengelola sumber-sumber material, seperti pekerjaan (jobs), penghasilan (income), tabungan (saving), serta sumber-sumber non-material seperti wewenang (authority), komitmen moral (moral commitment), kepercayaan (trust), persahabatan (friendship), kemampuan (skill) dan sebagainya (Sukmana, 2013). Salah satu hal yang paling sulit dikelola oleh gerakan sosial adalah soal mendapatkan penghasilan atau pendanaan agar sebuah gerakan sosial bisa terus berkelanjutan. Pendanaan gerakan sosial bisa berasal dari beberapa sumber, yaitu sumbangan masyarakat (filantropi), APBD/APBN, lembaga donor lokal (seperti Yayasan Tifa), lembaga donor internasional (seperti Ford Foundation, dll), lembaga pembangunan internasional (seperti agen-agen PBB, ADB, World Bank, DFID, dll), pemerintah luar negeri (seperti USAID, NORAD, GTZ, AUSAID, dll), LSM/NGO internasional melalui kerjasama program/proyek (seperti Green Peace, Care, Save the Children, OXFAM, dll).
Tentu saja ada catatan kontekstual mengenai sumber-sumber pendanaan gerakan sosial tersebut. Setiap gerakan sosial memiliki prinsip tersendiri dalam memilih sumber dana. Ada yang sangat menolak namun ada juga yang bisa menerima. Ada yang anti dengan World Bank (Bank Dunia) atau lembaga sejenis dengan alasan penyebab ketimpangan pembangunan global karena hutang yang dipinjamkannya, tapi ada juga yang menerima jika dana yang akan digunakan adalah dana hibah. Ada yang menolak dana dari APBN/APBD karena khawatir independensi dalam mengkritik pemerintah menjadi terpengaruh, namun ada juga yang menerima karena menganggap APBD/APBN adalah uang rakyat sehingga sah-sah saja digunakan untuk pembangunan masyarakat oleh gerakan sosial.
Masalah dalam pendanaan gerakan sosial tidak hanya soal sumber dana tetapi juga soal citra dari gerakan sosial itu sendiri. Munculnya istilah menjual isu lingkungan, isu kemiskinan, atau isu pemberdayaan dengan mengatasnamakan gerakan sosial adalah bentuk respon publik terhadap diskursus atau wacana ini. Dalam konteks ini, gerakan sosial dicurigai marak membuat pengajuan dana dan kemudian aktivisnya didanai oleh donor dan gerakan sosial hanya sebagai kepanjangan tangan dari kepentingan donor. Petras dan Veltemweyer (2002) dalam kajiannya menyatakan bahwa:
“Ornop-ornop (gerakan sosial) di seluruh dunia telah menjadi alat terakhir untuk mobilitas naik bagi kelas-kelas terdidik yang ambisius. Para akademisi, jurnalis dan profesional telah semakin jauh dari kepedulian awal mereka pada gerakan kiri dan miskin dana. Dan mereka kini mengejar karier yang menguntungkan dengan mengelola Ornop yang akan memberikan keterampilan organisatoris dan retorika serta kosa kata populis tertentu. Sekarang ini ribuan direktur Ornop setiap hari naik kendaraan roda empat seharga US $ 40.000 sebagai sarana transportasi dari rumah atau apartemen modern mereka di pinggiran kota ke kantor-kantor dan kompleks bangunan yang sangat lengkap. Sementara mereka meninggalkan anak-anak dan pekerjaan rumah tangga di tangan pembanru dan juga kebun-kebun mereka untuk dirawat oleh para tukang kebun. Mereka lebih akrab dan menghabiskan waktu di tempat-tempat konferensi internasional tentang kemiskinan yang sering mereka ikuti (Washington, Bangkok, Tokyo, Brussels, Roma dan lainnya) dari pada di kampung-kampung berlumpur di negara mereka sendiri. Mereka lebih mahir menyusun proposal baru untuk mendapatkan uang demi para ‘profesional’ yang layak ditolong dari pada mengambil resiko terpukul kepalanya oleh polisi yang menyerang demonstrasi guru sekolah di desa yang gajinya tidak dibayar penuh. Para pemimpin Ornop adalah kelas baru yang tidak mendapatkan harta kekayaan dari kepemilikan atau sumber-sumber pemerintah, tetapi dari dana imperial dan kemampuanyya sendiri untuk mengontrol kelompok-kelompok rakyat yang signifikan.”
Petras dan Veltemeyer (2002) memberikan pandangan bahwa gerakan sosial telah melakukan komodifikasi isu kemiskinan, isu pembangunan, dan isu-isu lainnya tanpa melihat lembaga donornya karena semua terjebak pada kondisi ini. Kutipan diatas juga menyiratkan kinerja gerakan sosial yang hanya berorientasi keuntungan pribadi atau kelompok dibanding memperjuangkan hak-hak sipil.
Lantas adakah adakah alternatif pendanaan bagi gerakan sosial untuk mendanai aktivitasnya sehingga gerakan sosial tersebut bisa terus ada dan berkembang? Kewirausahaan sosial mungkin bisa jadi jawabannya. Sebuah kajian dari Santos (2009) yang berjudul A Positive Theory of Social Entrepreneurship menguatkan pendapat bahwa kewirausahaan sosial adalah sebuah anomali, yang menantang pemahaman umum tentang manusia dengan segala pemikiran dan prilakunya. Aktivitas kewirausahaan sosial dipertimbangkan sebagai sebuah kegiatan yang ‘aneh’ karena menabrak kelaziman; yaitu melakukan berbagai kegiatan ekonomi, namun hasilnya untuk kesejahteraan orang lain. Kelaziman pemikiran bahwa aktivitas ekonomi adalah untuk sebesar-besarnya kemakmuran pribadi, seakan ditabrak oleh hadirnya aktivitas ini.
Satu hal yang dapat dikatakan adalah bahwa kewirausahaan sosial tidak terbatas hanya pada kegiatan “sederhana” seperti berusaha mengumpulkan uang donasi untuk disalurkan kepada yang membutuhkan (seperti yang selama ini dicitrakan oleh gerakan sosial model Yayasan atau LSM), namun lebih jauh dari itu, ia bahkan dapat menjadi usaha masif dalam upaya peningkatan kesejahteraan publik pada umumnya.