You are currently viewing Political Entrepreneur dan Definisi yang Relevan Di Era 4.0

Political Entrepreneur dan Definisi yang Relevan Di Era 4.0

Penggunaan istilah entrepreneur belakangan kian meningkat. Meski bukan istilah baru, term ini masif menjadi bahan diskusi usai diskursus Revolusi Industri keempat menjadi topik hangat. Menurut Kamus Oxford (1998), entrepreneur adalah seseorang yang bertanggung jawab atas sebuah bisnis dengan mau menerima segala resikonya, untung atau rugi. Entrepreneur dapat digolongkan ke dalam dua kelompok, yaitu business entrepreneur (wirausahawan) dan social entrepreneur (wirausahawan sosial) (Prayogo, 2017). Wirausahawan sendiri diartikan sebagai orang yang mengambil keuntungan dari usahanya untuk ekspansi atau mengembangkan dan memperbesar usahanya. Sedangkan kewirausahaan sosial merupakan aktivitas inovatif yang menciptakan nilai sosial di dalam atau melalui sektor pemerintah, bisnis, maupun nirlaba (Austin, Stevenson, dkk; 2006). Lain pandangan, menurut Dees (1998a) kewirausahaan sosial dilihat berdasarkan fokus utamanya pada misi sosial hingga orientasi utamanya pada sisi komersial dan tujuan sosial (Hempri Suyatna, 2017).

Sebenarnya, di luar limitasi yang diberikan oleh kamus Oxford, terdapat pula istilah entrepreneur di bidang lain, yakni dalam ranah politik. Jika pebisnis disebut business entrepreneur dan pebisnis sosial disebut social entrepreneur, maka pebisnis politik disebut sebagai political entrepreneur. Sebagaimana yang didefinisikan dalam jurnal Modern Economy dengan judul “A Theory of Political Entrepreneurship”, Matthew McCaffrey dan Joseph T. Salerno (2011) mengadopsi pemikiran Richard Cantillon, Frank Knight, dan  Ludwig von Mises menyebut bahwa wirausahawan politik tidak jauh berbeda dengan wirausahawan bisnis. Keduanya sama-sama mencari keuntungan, hanya saja, wirausahawan politik mencari keuntungan melalui jalur yang tidak mampu dijangkau oleh pasar. Mereka (wirausahawan politik) dipandang sebagai agen penyalur faktor produksi dari celah yang dapat diambil melalui kegiatan di dalam sistem Pemerintahan yang menghubungkan negara dengan pasar (swasta). Definisi ini, meskipun tidak dapat dikatakan sebagai makna yang negatif, namun tidak memberikan pemahaman yang segar seperti ketika kita diperdengarkan kata “business entrepreneur” maupun “social entrepreneur” —yang hampir selalu dimaknai sebagai aktivitas positif dalam mencari keuntungan.

Kajian terkait political entrepreneurship, sebelumnya juga telah dilakukan oleh Wägnerud (2008), dengan berfokus pada kegiatan anak muda dalam parlemen di Swedia yang mampu memberikan penyegaran atas isu politik, sekaligus menumbuhkan optimisme bahwa politik dapat menghasilkan nilai lebih. Konteks ini tentu lebih melegakan untuk dibaca sebagian besar akademisi dan praktisi politik, bahwa political entrepreneurship tidak melulu diartikan sebagai proses pencari keuntungan —yang boleh jadi melalui mekanisme yang melawan hukum. Definisi ini kemudian lebih jamak berkembang dalam bahasan terkait political entrepreneurship, salah satunya melalui artikel dari World Economic Forum dengan judul “The Rise of The Political Entrepreneur and Why We Need More of Them” (Carpio, 2017) yang mendefinisikan pengusaha politik sebagai orang yang menciptakan ide dan inovasi, dan bertindak sebagai pemimpin baru di bidang politik.

Alvin Carpio juga menambahkan, banyak hal yang dapat dilakukan oleh politicopreneurs di era Revolusi Industri 4.0 ini, salah satunya dengan melihat berbagai inovasi yang sudah dikembangkan. Nat Whalley, misalnya, mendirikan Organise Platform, sebuah perusahaan teknologi baru yang menyediakan alat bagi para pekerja untuk mengatur diri mereka sendiri. Civic Triage, mengotomatiskan tugas-tugas politik dengan mengganti operasi politisi dengan chatbot. Dalam kondisi negara yang banyak dipengaruhi oleh situasi global, —dicirikan dengan  banyak hoaks, instabilitas demokrasi, persoalan keamanan data warga negara, dan lain sebagainya— diperlukan banyak inovasi di bidang politik (kebijakan). Bukan hal yang tidak mungkin jika proses-proses politik, termasuk elektoral dan tugas-tugas parlemen dapat disederhanakan melalui platform digital tanpa mengurangi esensi berdemokrasi.

Kedengarannya menyenangkan, membuat inovasi untuk menyelesaikan persoalan politik dan/atau dalam sistem Pemerintahan. Namun perlu diperhatikan, dikutip dari The Jakarta Post “Why do we need more political entrepreneurs?”, kondisi ini hanya bisa dicapai dengan terlebih dahulu memenuhi beberapa prasyarat: pertama, kita tidak boleh kehilangan optimisme pada proses politik yang ada. Kenyataan bahwa kita memiliki banyak inovator politik adalah harapan tersendiri, menjadi apatis bukan sesuatu yang baik saat ini. Lebih jauh, kita harus terus memberikan dorongan bagi terciptanya ekosistem politik yang baik dengan partisipasi aktif. Kedua,kita perlu turut menciptakan sistem kepartaian yang demokratis. Salah satunya memikirkan cara terbaik agar petugas partai dan konstituennya terhubung melalui mekanisme yang jelas. Ketiga, political entrepreneur membutuhkan lingkungan dengan sistem hukum yang kondusif.

Meninjau beberapa definisi di atas, political entrepreneur memang memiliki peluang menjadi sesuatu yang baik, atau sebaliknya. Hal ini menjadi tugas Pemerintah (dan barangkali kita semua) untuk memastikan bahwa sistem yang ada, memberikan kesempatan yang sama bagi setiap orang di berbagai level, untuk menjadi inovator politik. Di era 4.0 ini, kita bisa memilih sendiri definisi yang tepat untuk menggambarkan political entrepreneur: apakah mereka yang mengambil keuntungan pribadi melalui proses-proses politik, atau yang menciptakan keuntungan bagi terciptanya masyarakat yang lebih baik? Revolusi Industri keempat memberikan kita banyak pilihan untuk menjadi inovator dengan berbagai platform yang mungkin. Kuncinya selalu sama; berani mengambil risiko.

Leave a Reply