You are currently viewing Merebut Masa Depan: Think Tank dan Politik Pengetahuan Istilah-Istilah Kekinian

Merebut Masa Depan: Think Tank dan Politik Pengetahuan Istilah-Istilah Kekinian

Kewirausahaan sosial, ekonomi kreatif, generasi milenial, revolusi industri 4.0, dan masyarakat 5.0 menjadi kata-kata yang beberapa tahun terakhir sering kita dengar sekaligus sering dihubung-hubungkan satu sama lain. Menariknya (atau mungkin juga menyedihkan), meskipun dalam kehidupan sehari-hari istilah-istilah tersebut sudah sangat akrab bahkan beberapa dari kita sudah terlibat dalam praktiknya sebagai “generasi milenial yang mempunyai usaha sosial dengan basis ekonomi kreatif di era revolusi industri 4.0 dan masyarakat 5.0” tetapi dalam hal produksi pengetahuan tentang istilah-istilah tersebut Indonesia bisa dibilang sangat tertinggal.

Hampir semua pengetahuan dan literatur tentang istilah-istilah tersebut, yang juga digunakan sebagai acuan oleh para praktisi di Indonesia yang secara menyedihkan sering diterapkan dengan cara “salin-tempel” tanpa kontekstualisasi, diproduksi oleh negara-negara Barat, Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok yang tentunya sarat muatan ideologis neoliberalisme pasar bebas global. Mengapa hal ini terjadi? Selain karena istilah-istilah tersebut adalah istilah-istilah baru, di Indonesia masih sedikit –untuk tidak mengatakan tidak ada- wadah pemikir atau think tank yang memproduksi pengetahuan tentang hal-hal tersebut. Lantas apa itu wadah pemikir atau think tank dan mengapa keberadaan mereka penting bagi produksi pengetahuan tentang istilah-istilah “kekinian” tersebut?

Faizal Akbar (2017) menuliskan bahwa ide mengenai think tank pertama kali dicetuskan di Inggris oleh Thomas Clarkson yang mendirikan komite perkumpulan masyarakat untuk menghapus perdagangan budak Afrika pada 1782. Ia melakukan riset untuk menjelaskan kondisi dari budak yang diperdagangkan agar pemerintah menghentikan kebijakan perdagangan budak. Pemikiran dari Komite Clarkson tersebut kemudian disebut sebagai think tank pertama di dunia (Goodman, 2017).  Istilah ‘think tank’ mulai populer setelah digunakan sebagai penyebutan lembaga yang berisi para ahli pertahanan dan staf militer untuk mendiskusikan isu-isu strategis selama perang dunia kedua di Amerika Serikat.

Pasca perang dunia kedua, institusi tersebut berkembang sebagai lembaga penelitian yang menyusun bahan masukan bagi kebijakan pemerintah dan mempersiapkan strategi militer di masa depan. Think tank memiliki banyak definisi di dunia, berdasarkan The World Intellectual Big Dictionary: “Think tank dikenal juga sebagai bank otak, kelompok intelektual yang menunjukkan penelitian dan konsultan bagi pemerintah, perusahaan, penguasa, asosiasi, secara umum anggotanya terdiri dari multi disiplin ilmu dan para pakar yang multi professional (Linbo, 2015). Think tank menjadi penting sebagaimana dijelaskan oleh Andrew Rich dalam bukunya yang berjudul “Think Tank, Publik Policy and Politics of Expertise” karena think tank menjadi wadah berkumpulnya para pakar untuk mempengaruhi perumusan kebijakan publik dengan latar belakang keilmuan yang menjadi legitimasi mereka. Para pakar adalah broker ide yang melakukan upaya agar idenya menang dalam War of ideas/Battle of ideas atau dalam bahasa Antonio Grasmci disebut “Perang Posisi” ketika proses pengambilan kebijakan.

Secara umum, hampir semua think tank di seluruh dunia bekerja mengikuti “siklus kebijakan publik” yaitu: pertama, Agenda Setting, ini adalah periode dimana proposal kebijakan dihasilkan dan bekerjanya isu dengan cara mereka menuju skala prioritas dari pembuat kebijakan. Kedua, Pertimbangan Kebijakan, ini adalah periode dimana pejabat publik secara kolektif sibuk mendiskusikan suatu isu. Ketiga, Pemberlakuan kebijakan dimana pembuat kebijakan membuat keputusan dengan menerima atau menolak usulan atau legislasi baru. Keempat, Periode pengimplementasian kebijakan, dimulai ketika regulasi telah ditetapkan, merujuk pada administrasi kebijakan dan program yang sudah direncanakan upayanya untuk memastikan keefektifan pelaksanaannya (Rich, 2008 dalam Akbar, 2017).

Pelajaran tentang pentingnya think tank datang dari keberhasilan Partai Konservatif di Inggris ketika dipimpin oleh The Iron Lady Margareth Thatcher menjadikan ideologi Neoliberalisme sebagai acuan kebijakan publik tidak hanya di Inggris tapi hampir di seluruh dunia. Dalam tulisannya Ahmad Rizky Mardhatillah Umar menjelaskan bahwa segera setelah Thatcher terpilih sebagai pemimpin Partai Konservatif, ia menyiapkan langkah-langkah strategis. Ia tidak hanya mempersiapkan ‘kabinet bayangan’, tetapi juga mengoptimalkan lembaga Think Tankpartai: Conservative Research Department (CRD), untuk mendesain kebijakan-kebijakan strategis partai. CRD memang terobosan menarik di Partai Konservatif. Dibesut pertama kali tahun 1929 oleh Neville Chamberlain, Departemen ini khusus dibuat untuk menyokong kebijakan-kebijakan yang diambil partai. Tugasnya sederhana tapi penting: membuat brief kebijakan dan memasok anggota parlemen dengan data.

Di masa Thatcher, lembaga ini dibuat lebih powerful: mendampingi Menteri dan ‘Menteri Bayangan’ dalam debat-debat di parlemen menghadapi lawan-lawan politiknya. Menariknya, CRD tidak diisi oleh akademisi atau ‘intelektual’ yang ada di kampus, tapi justru oleh anak-anak muda Fresh Graduate yang baru lulus dari Universitas. Jadi, CRD mengemban dua fungsi sekaligus: Think Tank plus kaderisasi. Mereka tidak hanya memberikan dukungan “intelektual”, tapi juga memberi pengalaman bagi calon-calon politikus muda yang diharapkan bisa mengambil estafet kepemimpinan Partai di masa depan. Hasilnya? Tidak hanya Thatcher berhasil menjadi Perdana Menteri selama sebelas tahun tetapi juga membuat pola pikir masyarakat Inggris (termasuk mereka dari Partai Buruh) atau bahkan dunia bahwa tidak ada alternatif selain Neoliberalisme di dunia ini (TINA/There is No Alternative). Orang-orang Neoliberal paham betul bagaimana proses dari Idea ke Platform lalu Policy dan terakhir Programme atau mudahnya mereka benar-benar mengerti cara menerjemahkan ide menjadi kebijakan dan program kerja yang siap diterapkan.

Hari-hari ini, keberhasilan strategi Margareth Thatcher menggunakan CRD sebagai think tank untuk menjadikan Neoliberalisme hegemonik –sekali lagi meminjam istilah dari Antonio Gramsci- juga terasa dalam hal-hal yang penulis tulis di awal tulisan yaitu “kewirausahaan sosial, ekonomi kreatif, generasi milenial, revolusi industri 4.0, dan masyarakat 5.0”. Istilah-istilah tersebut meskipun sering digadang-gadang sebagai alternatif  kondisi yang ada sekarang pada kenyataanya dilihat dari pengetahuan yang mendasarinya maupun praktik yang sudah diterapkan ternyata masih kuat mengandung bias-bias doktrin akumulasi kapital sebanyak-banyaknya ala neoliberalisme pasar bebas global.

Lantas bagaimana? Gagasan-gagasan tentang nilai-nilai sosial dan imajinasi tentang tatanan dunia yang berbeda dari sekarang serta bisa dihasilkan dari “kewirausahaan sosial, ekonomi kreatif, generasi milenial, revolusi industri 4.0, dan masyarakat 5.0” harus memenuhi apa yang disebut oleh Alexander Irwan (2006) sebagai “Dalil Kelembagaan”. Alexander Irwan menjelaskan bahwa dalam hal kelembagaan, diskursus atau wacana beroperasi pada dua tataran. Tataran pertama adalah operasi wacana pada tingkat kelembagaan untuk mensosialisasikan sebuah gagasan. Kelembagaan tingkat pertama tersebut identik dengan organisasi, misalnya bagaimana sebuah kelompok menguasai dan memanfaatkan sebuah Fakultas, atau bahkan Universitas, Lembaga Penelitian, dan media massa untuk mensosialisasikan gagasannya. Sedangkan kelembagaan tingkat kedua tidak berbentuk organisasi tetapi berupa regulasi negara atau lintas negara yang mempunyai kekuatan hukum/legalitas  untuk memberikan sanksi kepada mereka yang melanggar aturan. Kelembagaan kedua inilah yang oleh Soesastro (2002) dalam Irwan (2006) disebut sebagai “norma, prinsip, dan aturan serta lembaga-lembaga yang menetapkan rambu-rambu dan menjaga agar rambu-rambu itu tidak dilanggar”.

Itulah mengapa orang-orang yang punya imajinasi, gagasan, dan harapan bahwa “kewirausahaan sosial, ekonomi kreatif, generasi milenial, revolusi industri 4.0, dan masyarakat 5.0” bisa membawa perubahan sosial ke arah yang lebih adil di masa depan harus mendirikan wadah pemikir atau think tank sebagai “kelembagaan tingkat pertama” untuk memperjuangkan imajinasi, gagasan, dan harapan mereka melawan Neoliberalisme dalam sebuah pertarungan politik pengetahuan dan merebut “kelembagaan tingkat kedua” yang saat ini dihegemoni Neoliberalisme.

Sumber gambar: https://hsmai.eu/

Leave a Reply