Dari Hustler ke Quiet Quitter: Pergeseran Tren Produktivitas ala Pekerja Muda

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp

Dewasa ini, muncul berbagai istilah baru dalam dunia kerja yang mulai digunakan untuk menandai kondisi-kondisi tertentu yang relevan dengan kondisi saat ini. Terutama kondisi yang merujuk pada berbagai transformasi kerja pasca pandemi. Bersamaan dengan meleburnya kehidupan privat dengan dunia kerja melalui skema work from home selama pandemi berlangsung, bermunculan berbagai saran untuk menjaga diri tetap produktif (Smith, 2021). Menggunakan kesempatan dan fleksibilitas yang ditawarkan oleh skema kerja jarak jauh untuk meningkatkan kualitas diri maupun produktif secara ekonomi. Smith (2021) mengatakan keadaan temporal semasa pandemi yang akan terus diterapkan sebagai bentuk kenormalan baru berhasil menanamkan konsep produktivitas dan komodifikasi diri sebagai alat untuk mengukur kelayakan dan nilai diri.

Terlebih, prinsip-prinsip utama neoliberalisme yang menekankan bahwa kesejahteraan dijamin dengan mendorong pertumbuhan perusahaan swasta, tanggung jawab individu, dan pasar yang kompetitif untuk memacu tumbuhnya kewirausahaan (Natow and Dougherty, 2019). Tanggung jawab yang dibebankan terhadap individu dan kompetisi pasar seakan memaksa individu untuk terus meningkatkan kualitas diri. Dalam hal ini, produktivitas menjadi sebuah kewajiban dan tolak ukur nilai individu yang dapat berperan dalam pembentukan identitas diri. Ditambah lagi menjamurnya kasualisasi kerja dalam ekonomi gig yang mendorong kompetisi global menuntut peningkatan produktivitas individu, optimalisasi human capital, dan komodifikasi diri (self-enterprise) (Natow and Dougherty, 2019). Alhasil, individu terpaksa untuk meningkatkan produktivitas diri berlebih untuk bertahan. 

Dalam Smith (2021) disebutkan bahwa peleburan ruang privat dan publik serta dorongan untuk meningkatkan produktivitas ekonomi selama pandemi mendukung wacana tentang identitas sebagai pekerja yang berkaitan erat dengan identitas diri, di mana tercermin melalui produktivitas yang dipandang sebagai atribut resiliensi. Pandemi Covid-19 turut memperparah wacana dari sistem neoliberal yang mendorong penemuan solusi individual untuk masalah sosial-ekonomi alih-alih membuatnya sebagai tanggung jawab kolektif. Akibatnya, munculah sebuah kultur yang menormalisasikan jumlah kerja yang berlebihan dan obsesi terhadap produktivitas atau yang sering disebut sebagai hustle culture. 

Menurut hasil survey yang dilakukan oleh The Finery Report (2022), ditemukan bahwa 83.8% responden dari berbagai industri menganggap bahwa pekerjaan overtime merupakan hal yang normal untuk dilakukan dan 60,8% merasa bersalah ketika tidak menambah jam kerja ekstra. Hal tersebut menunjukkan kecenderungan untuk melakukan pekerjaan berlebih atas nama produktivitas. Selain itu, pekerjaan sampingan menjadi umum untuk dilakukan pekerja di waktu ekstra yang menambah jam kerja utama. Hal ini tidak terlepas dari konsep dari penempatan produktivitas sebagai tolak ukur kualitas dan identitas diri. Ditambah lagi, dengan semakin berkembangnya teknologi yang mendukung kemudahan untuk menjangkau kerja-kerja lepas, sehingga memungkinkan untuk para individu untuk mendapatkan pekerjaan tambahan (Sessions dan Vaulont, 2020).

Meskipun hustle culture masih terus dipraktikkan oleh banyak orang terutama karena pengaruh dari saran motivasional untuk meningkatkan produktivitas selama pandemi, terdapat sebuah fenomena baru yang muncul dewasa ini. Kontradiktif dengan hustle culture yang cenderung merujuk pada obsesi kerja berlebih, fenomena yang dikenal sebagai quiet quitting merupakan kondisi yang berlawanan. Quite quitting disebut sebagai efek dari kerja berlebihan sehingga tidak mengglorifikasi maupun menjustifikasi overwork dan merupakan tren yang mulai ramai di media sosial. 

Secara khusus, quiet quitting dikatakan sebagai keadaan di mana pekerja memilih untuk bekerja sesuai dengan tanggung jawab dan jam kerja sehingga dapat menyeimbangkan pekerjaan dan kehidupan. Hal ini merujuk kepada membangun batas dan menyusun prioritas, meskipun beberapa mendeskripsikan sebagai fenomena pekerja yang lebih bermalas-malasan. Quiet quitting dianggap sebagai respon dari kondisi selama pandemi yang menuntut individu untuk terus menjaga produktivitas, sehingga berdampak terhadap kondisi psikologis individu.  Terutama sebab tren ini muncul setelah fenomena pengunduran diri massal (great resignation). Menurut Gallup, setidaknya 86% dari pekerja di seluruh dunia telah mempraktikan quiet quitting. 

Fenomena ini menjadi musuh bagi hustle culture karena memberi batas yang sehat terhadap eksploitasi diri, dengan hanya menjalankan beban kerja sesuai yang tertera di kontrak tanpa menambah kerja sampingan lainnya. Hal tersebut sebenarnya bukanlah hal yang baru dan merupakan sebuah kewajaran, namun di tengah sistem yang menempatkan produktivitas sebagai pusat dari pembentukan identitas baik sebagai pekerja maupun identitas diri, para quiet quitters dianggap sebagai bentuk pemberontakan terhadap norma kerja yang mengutamakan produktivitas ekonomi berlebih. Meskipun demikian, quiet quitters merupakan istilah untuk mengakomodasi para generasi Z yang mengalami penurunan produktivitas karena ketidapuasan terhadap budaya kerja selama pandemi. Sebab, para pekerja muda cenderung mencari fleksibilitas serta keseimbangan kerja dan kehidupan privat mereka.

Referensi:

Easterbook-Smith, Gwyn. (2021). Shame, subjectivity, and pandemic productivity. Acta Academia. http://dx.doi.org/10.18820/24150479/aa53i2/9

Masterson, Victoria (2022). What is quiet quitting? Retrieved from: https://www.weforum.org/agenda/2022/09/tiktok-quiet-quitting-explained/

Natow, R. S., & Dougherty, K. J. (2019). Performance Funding as Neoliberal Policy. International Higher Education, (98), 7-8. Retrieved from https://ejournals.bc.edu/index.php/ihe/article/view/11181

Sessions, H., Nahrgang, J. D., Vaulont, M. J., Williams, R., & Bartels, A. L. (2021). Do the hustle! Empowerment from side-hustles and its effects on full-time work performance. Academy of Management Journal, 64(1), 235–264. https://doi.org/10.5465/amj.2018.0164

The Finery Report. (2021). Hustle culture and the burnout generation. Retrieved from: https://thefineryreport.com/articles/2021/2/25/hustle-culture-and-the-burnout-generation?rq=hustle

Photo by Adegbenro Emmanuel on Pexel

More to explorer

Mengenal Jenis Jenis Wirausaha di Indonesia

Sektor wirausaha merupakan salah satu perhatian pemerintah dalam melakukan upaya pembangunan jangka menengah. Hal tersebut dikarenakan adanya wirausaha yang dilakukan oleh masyarakat

Close Menu